![]() |
Gus Miftah dan Pak Sunhaji |
Langkah Gus Miftah bukanlah sesuatu yang biasa kita lihat di masyarakat. Di era ketika kesalahan sering kali diabaikan atau dilemparkan kepada pihak lain, keberanian untuk mengakui kekeliruan dan bertanggung jawab adalah tindakan mulia yang patut diapresiasi. Dalam Islam, sikap seperti ini sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, yang bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ خَطَّاءٍ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi, no. 2499)
Namun, di sisi lain, framing negatif yang menyebut Gus Miftah sebagai “sales agama” atau “penjual ayat-ayat suci” mulai bermunculan. Ujaran-ujaran seperti ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga menodai prinsip persaudaraan yang dijunjung tinggi dalam Islam. Menghakimi seseorang tanpa memahami konteks yang sebenarnya hanya akan memperkeruh suasana dan menghilangkan hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa tersebut.
Keberanian untuk Bertanggung Jawab
Dalam Islam, keberanian bukan hanya soal melawan musuh atau menghadapi bahaya, tetapi juga kemampuan untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Ketika Gus Miftah meminta maaf, ia menunjukkan kepada kita bahwa kesalahan bukanlah akhir, melainkan kesempatan untuk belajar dan menjadi lebih baik. Sikap ini patut dicontoh oleh setiap muslim, terutama ketika menghadapi tekanan sosial yang sering kali membuat seseorang enggan mengakui kekeliruannya.
Baca juga: Keberanian dan Tanggung Jawab Gus Miftah
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk bersikap adil, bahkan terhadap diri sendiri. Allah berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اَعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Hikmah dari Persaudaraan
Ketika seseorang melakukan kesalahan, tugas kita bukanlah menghakimi atau menjatuhkan, tetapi memberikan nasihat dengan hikmah. Nabi Muhammad SAW menunjukkan bagaimana kelembutan dapat mengubah hati yang keras sekalipun. Dalam konteks kasus ini, Gus Miftah telah menunjukkan langkah pertama menuju islah (perbaikan), dan kita sebagai umatnya seharusnya mendukung dengan sikap bijak, bukan dengan menambahkan beban melalui kritik yang tidak membangun.
Sikap Kita terhadap Saudara yang Bersalah
Dalam menghadapi saudara muslim yang melakukan kesalahan, kita dapat mengambil beberapa langkah berikut:
- Menegur dengan cara yang baik: Rasulullah SAW mengajarkan bahwa nasihat harus diberikan dengan lembut dan tidak mempermalukan orang lain di depan umum.
- Menghindari fitnah dan ujaran kebencian: Membangun opini negatif dengan istilah seperti “penjual ayat-ayat suci” hanya akan memperbesar jurang perpecahan.
- Belajar dari kejadian: Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan kesalahan adalah bagian dari proses belajar.
Kesimpulan
Kasus Gus Miftah dan penjual es teh bukan sekadar cerita viral, melainkan pelajaran penting tentang keberanian, tanggung jawab, dan sikap kita sebagai umat Islam. Mari jadikan peristiwa ini sebagai pengingat bahwa setiap manusia, termasuk kita sendiri, tidak luput dari kesalahan. Yang membedakan adalah bagaimana kita meresponsnya. Dengan bersikap bijak, adil, dan penuh kasih sayang, kita dapat menjaga harmoni dalam persaudaraan Islam.
Keberanian Gus Miftah adalah teladan nyata bahwa mengakui kesalahan tidak membuat seseorang lemah, melainkan menunjukkan kekuatan iman dan tanggung jawab. Bukankah ini yang seharusnya kita jadikan panutan?
Pingback: Pelajaran dari Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh: Refleksi Batas Candaan, Etika Islami, dan Hikmah di Balik Musibah - Yayasan Islam Darul Khair Wal Barakah