Keteladanan dalam Kesatria: Refleksi dari Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh

Keteladanan dalam Kesatria: Refleksi dari Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh
Gus Miftah

Depok – Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, kasus Gus Miftah yang melibatkan kontroversi dengan seorang penjual es teh menjadi salah satu perbincangan hangat. Namun, alih-alih terjebak pada narasi negatif atau penghujatan, ada pelajaran besar yang dapat kita ambil: keberanian untuk bertanggung jawab. Langkah Gus Miftah meminta maaf secara terbuka dan memilih mundur dari jabatan tertentu merupakan tindakan yang jarang kita temui di tengah maraknya budaya menyalahkan pihak lain.  

Prabowo Subianto menyebut Gus Miftah sebagai ksatria. Gelar ini bukan tanpa alasan. Dalam Islam, mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah bentuk penghormatan terhadap nilai keadilan dan tanggung jawab. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW:  

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ خَطَّاءٍ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi, no. 2499)  

Namun, di tengah apresiasi terhadap keberanian Gus Miftah, tidak sedikit pula suara miring yang menyandingkannya dengan istilah “sales agama” atau “penjual ayat-ayat suci.” Framing seperti ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga melukai prinsip persaudaraan Islam. Perbedaan pendapat adalah hal wajar, tetapi membangun opini yang bernuansa ujaran kebencian hanya akan memperuncing perpecahan.  

Sebagai umat Islam, kita perlu menyikapi kesalahan dengan hikmah. Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya memberikan nasihat dengan lembut, sebagaimana firman Allah:  

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)  

Maka, bagaimana seharusnya sikap kita?  

  • Menyikapi dengan kasih sayang: Ingat bahwa setiap individu memiliki kekurangan. Ketika saudara kita tergelincir, tugas kita adalah menasihatinya dengan cinta, bukan mencelanya di depan publik.
  • Mengambil pelajaran: Setiap peristiwa adalah cermin untuk memperbaiki diri. Keteladanan Gus Miftah dalam meminta maaf seharusnya menjadi inspirasi, bukan bahan cercaan.
  • Menjaga persaudaraan: Hindari ujaran yang berpotensi memecah belah, baik secara langsung maupun tidak langsung.  

Mari kita renungkan, apakah kita ingin dikenal sebagai orang yang membangun atau menghancurkan? Sikap ksatria Gus Miftah bukan hanya langkah yang patut diapresiasi, tetapi juga pengingat bahwa keberanian untuk bertanggung jawab adalah salah satu wujud ketakwaan yang sejati.  

 

1 Comment

Tinggalkan Balasan