Menakar Kenaikan PPN 12% dengan Prinsip Islam

PPN
Ilustrasi Kenaikan PPN 12%

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah menjadi salah satu topik yang memicu diskusi luas di tengah masyarakat. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara untuk mendukung berbagai program pembangunan dan layanan publik. Namun, langkah ini juga menuai berbagai tanggapan, terutama dari kalangan yang merasa keberatan akibat dampaknya terhadap daya beli dan kesejahteraan rakyat.

Dalam perspektif Islam, setiap kebijakan pemimpin, termasuk dalam pengenaan pajak, harus senantiasa didasarkan pada prinsip keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan. Islam menekankan pentingnya penggunaan harta publik untuk kepentingan bersama dan menghindari tindakan yang dapat menzalimi kelompok tertentu. Kaidah “Tasharruf Al-Imam Manuthun Bil Maslahah” menjadi dasar penting dalam memahami kebijakan ini, di mana setiap tindakan pemerintah harus bermuara pada maslahat atau kebaikan bagi rakyatnya.

Opini ini disusun untuk memberikan pandangan yang seimbang mengenai kebijakan PPN 12% dalam kerangka Islam, dengan merujuk kepada dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, serta pendapat para ulama. Harapannya, pembahasan ini dapat menjadi bahan renungan bagi semua pihak untuk lebih memahami kebijakan pajak dalam konteks keadilan dan kemaslahatan, sehingga dapat mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik dan harmonis.

Apakah PPN Itu?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. Pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun tertentu dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara. Namun, dalam perspektif Islam, pembahasan mengenai pajak harus mempertimbangkan prinsip keadilan, kemaslahatan umum, dan larangan mengambil harta orang lain secara zalim.

Dalil-Dalil Yang Relevan

  • Surah Al-Baqarah (2:188)

وَلَا تَأْكُلُوا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًۢا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Ayat ini menegaskan larangan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar. Pajak hanya boleh diberlakukan jika penggunaannya sesuai syariat, seperti untuk kesejahteraan masyarakat.

  • Surah At-Taubah (9:60)

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱلْعَـٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم

Ayat diatas menjelaskan peruntukan dana umat seperti zakat yang harus diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang membutuhkan. Dalam konteks kebijakan pajak, prinsip ini mengingatkan bahwa pengelolaan dana publik harus digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, khususnya mereka yang membutuhkan.

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

  • Qur’an Surat An-Nisa: 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat diatas menegaskan pentingnya keadilan dalam setiap kebijakan, termasuk kebijakan pajak, sehingga tidak memberatkan masyarakat tertentu.

  • Qur’an Surat Al-Anbiya: 107

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Pemimpin harus meneladani sifat rahmat Nabi Muhammad SAW dengan memastikan kebijakan yang membawa manfaat bagi rakyat.

  • Hadits Riwayat Ahmad

لَا يَحِلُّ مَالُ ٱمْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Hadits diatas menegaskan pentingnya prinsip kerelaan dalam pengambilan atau penggunaan harta seseorang. Dalam konteks kebijakan seperti pajak, pemerintah harus memastikan bahwa pengumpulan pajak dilakukan dengan adil dan transparan, sehingga masyarakat merasa ikhlas dan memahami bahwa pajak digunakan untuk kemaslahatan bersama.Pajak yang dipaksakan tanpa manfaat nyata bagi rakyat dapat bertentangan dengan hadits ini.

  • Pandangan Ulama

قَالَ ٱبْنُ تَيْمِيَّةَ: تَجُوزُ ٱلضَّرَائِبُ عِنْدَ ٱلضَّرُورَةِ إِذَا كَانَتْ ٱلدَّوْلَةُ تَحْتَاجُ إِلَيْهَا، وَلَا يُوجَدُ سَبِيلٌ آخَرُ لِتَحْقِيقِ مَصَالِحِ ٱلشَّعْبِ، شَرْطَ أَنْ تُسْتَخْدَمَ عَوَائِدُهَا فِي ٱلْمَصَالِحِ ٱلْعَامَّةِ

“Ibnu Taimiyah berkata: Pajak diperbolehkan jika negara membutuhkan dan tidak ada alternatif lain, dengan syarat hasilnya digunakan untuk kemaslahatan umum.”

قَالَ ٱلْإِمَامُ ٱلْغَزَالِيُّ فِي كِتَابِهِ إِحْيَاءُ عُلُومِ ٱلدِّينِ: يَجِبُ أَنْ تَكُونَ ٱلضَّرَائِبُ عَلَى ٱلْعَدْلِ، وَأَنْ لَا تُثْقِلَ كَاهِلَ ٱلشَّعْبِ بِٱلتَّحَمُّلَاتِ ٱلْمُفْرِطَةِ، فَإِنَّ ٱلْعَدْلَ أَسَاسُ ٱلْإِدَارَةِ ٱلْمَالِيَّةِ فِي ٱلْإِسْلَامِ

Imam Al-Ghazali: “Pajak harus adil dan proporsional, serta tidak membebani rakyat secara berlebihan, karena keadilan adalah inti pengelolaan keuangan dalam Islam.”

  • Kaidah Fiqih

Kaidah fiqih تصرف الإمام منوط بالمصلحة berarti:

“Kebijakan seorang pemimpin (imam) harus terkait erat dengan kemaslahatan rakyatnya.”

Kaidah ini menekankan bahwa setiap keputusan atau kebijakan pemerintah, termasuk pengenaan pajak seperti PPN 12%, harus dilandaskan pada kemaslahatan masyarakat secara umum, bukan untuk keuntungan segelintir pihak.

Korelasi PPN 12% dengan Kaidah Fiqih

  • Prinsip Dasar Kemaslahatan

Dalam konteks PPN, kebijakan menaikkan pajak menjadi 12% dapat diterima jika:

  • Hasil pajak digunakan untuk program yang memberikan manfaat nyata bagi rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.
  • Beban pajak tidak memberatkan kelompok masyarakat yang lemah (fakir dan miskin).

Hal ini sejalan dengan kaidah bahwa pemerintah harus bertindak untuk menciptakan keseimbangan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

  • Keadilan dalam Distribusi Beban

Kemaslahatan dalam kaidah ini menuntut keadilan dalam pembebanan pajak. PPN yang bersifat konsumtif sering kali lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka menghabiskan sebagian besar pendapatan untuk kebutuhan pokok. Oleh karena itu:

  • Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi.
  • Bisa dilakukan dengan memberikan subsidi atau kompensasi untuk kelompok rentan.
  • Transparansi dalam Pengelolaan

Salah satu syarat kemaslahatan adalah adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak. Jika hasil PPN 12% digunakan untuk kepentingan masyarakat luas sesuai dengan syariat, maka kebijakan tersebut dapat diterima. Namun, jika disalahgunakan, hal ini melanggar prinsip kaidah.

Kesimpulan

Kebijakan PPN 12% dapat diterima dalam Islam jika:

  • Pajak digunakan untuk maslahat umum dan bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir pihak.
  • Beban pajak tidak menzalimi rakyat kecil.
  • Ada transparansi dalam pengelolaan dan pendistribusian hasil pajak.

Sesuai dengan ayat-ayat al-qur’an, hadits, pandangan ulama dan kaidah Tasharruf Al-Imam Manuthun Bil Maslahah, pemerintah harus selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan menghindari kebijakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan